Dilema Biaya UKT: Mencari Solusi untuk Memberatkan Beban Mahasiswa

Dilema Biaya UKT: Mencari Solusi untuk Memberatkan Beban Mahasiswa

**Rangkuman Berita:** Kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia menjadi sorotan. Hal ini memicu unjuk rasa mahasiswa yang memprotes kenaikan yang dianggap tak masuk akal. Penyebab utama kenaikan UKT adalah status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Dengan status ini, kampus memiliki kebebasan mengelola sumber daya, termasuk menentukan biaya pendidikan. Aturan PTN BH dilegalisasi oleh Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, yang memicu kenaikan UKT yang drastis. Aturan tersebut menetapkan UKT minimum Rp500 ribu untuk kelompok 1 dan Rp1 juta untuk kelompok 2, namun membolehkan kampus menentukan besaran UKT di atasnya. Akar masalah UKT tinggi adalah kebijakan PTN BH, yang membuka peluang privatisasi dan komersialisasi kampus. Hal ini memaksa kampus untuk mencari uang tambahan melalui biaya pendidikan. Meskipun sudah diterapkan sejak 2012, kebijakan PTN BH dianggap belum menunjukkan dampak positif. Sebaliknya, mahasiswa merasakan dampak buruk seperti penyempitan akses pendidikan dan fokus kampus yang beralih menjadi mencari keuntungan. Rendahnya bantuan operasional untuk PTN juga berkontribusi terhadap kenaikan UKT. PTN BH diberikan keleluasaan mencari dana tambahan, dan UKT menjadi salah satu caranya. Beberapa pihak menyarankan agar kebijakan PTN BH dihapuskan karena lebih banyak merugikan mahasiswa. Sementara itu, pihak lain berpendapat bahwa revisi terhadap Permendikbudristek 2/2024 diperlukan untuk mengatasi masalah kenaikan UKT.